Minggu, 25 Mei 2014 |
2
komentar
Woman Rider, Sang Penikmat Kecepatan
Putri
mahir menunggang kuda besi sejak lulus SD kalau tidak salah. Orang yang berjasa
mengajari putri waktu itu bukan ayah ataupun ibu melainkan bulik (tante) paling ragil
(bungsu) dari pihak ibu. Kala itu, ketika latihan dan sudah berani mencoba
pergi sendiri agak jauh dari rumah, pernah juga punya pengalaman menabrak buk (tempat duduk dari semen yang ada di
samping kanan kiri gang masuk desa). Waaah, malu bukan main. Untung tidak
begitu ramai saat itu. Tapi perihnya bukan main karena lecet-lecet. Pernah juga
ada pengalaman mendapat tato alias luka yang melepuh dari “ekor” (knalpot) si
kuda besi ini.
Dan
tragedi yang paling parah adalah ketika masih duduk di bangku SMA. Ketika SMA
putri tinggal bersama bulik kedua
(atau kalau diberi judul sebuah kisah, sebutlah “Tiga tahun bersama Tante
Garang”). Di kelas 2 SMA (kelas XI), putri akhirnya mendapatkan “surat sakti”
(Surat Ijin Mengemudi atau SIM). Om-lah yang berjasa memberikan kemudahan itu
karena beliau sempat bekerja di bagian dinas kependudukan.
Nah, ceritanya, sebelum mempunyai SIM, putri
sudah dipercaya boleh membawa “kabur” kuda besi milik bulik. Sore itu, niat
awal ingin kerumah teman. Melewati gang-gang perumahan, menyusuri jalan kampung
dekat rel dan menyeberang jalan raya. Di bagian menyeberang jalan raya inilah
tragedi itu terjadi. Putri masih ingat, memang ketika putri menyeberang tidak
di persimpangan yang seharusnya. Di depan putri juga ada bapak-apak yang akan
menyeberang, beliau sudah duluan, dan kelihatannya sudah aman-aman saja. Saat
putri akan menyusul beliau (supaya ada temannya ketika menyeberang), tiba-tiba
dari arah kanan meluncurlah motor matic
dengan kecepatan sedang. Lalu, braaaakkkk,
terjadilah kecelakaan kecil itu. Berita baiknya yang melegakan adalah putri
hanya lecet-lecet sedikit dengan agak trauma dengan kejadian yang begitu
spontan itu. Tapi kabar buruknya, si pengendara matic tadi tidak terima, bahkan hampir melaporkan putri ke polisi
karena yang lecet-lecet selain dirinya juga motornya. Bersyukur lagi, om juga
adik perempuan om datang lalu bisa mendinginkan suasana dan melerai kami di
TKP, dan endingnya putri yang kena
damprat “Tante Garang” karena membawa motor sembarangan, tidak memakai helm,
tidak menyeberang di jalur yang benar, belum punya SIM, dan sederet dampratan
lainnya. Hahahaha, itulah pengalaman
putri dengan si kuda besi pada waktu masih amatiran menunggangnya dan saat
belum mendapat surat sakti.
Kembali
ke topik awal yang berhubungan dengan quote
tadi, putri paling suka sekali mengendarai motor dengan memacu kecepatan
tinggi. Tentunya dengan memperhatikan rambu-rambu yang ada meskipun tak jarang
pula ada melakukan pelanggaran kecil seperti berjalan dengan kecepatan
normal, menyeberang tidak pada jalur yang ditentukan, mengebut ketika lampu
lalulintas sudah berwarna oranye, mendahului dari samping kiri. Hahahaha. Ternyata lumayan banyak juga
pelanggaran yang putri lakukan.